BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Nyeri merupakan alasan yang paling umum
seseorang mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri didefinisikan sebagai
suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila
seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).Nyeri terjadi bersama proses
penyakit, pemeriksaan diagnostik dan proses pengobatan. Nyeri sangat mengganggu
dan menyulitkan banyak orang. Perawat tidak bisa melihat dan merasakan nyeri
yang dialami oleh klien, karena nyeri bersifat subyektif (antara satu individu
dengan individu lainnya berbeda dalam menyikapi nyeri). Perawat memberi asuhan
keperawatan kepada klien di berbagai situasi dan keadaan, yang memberikan
intervensi untuk meningkatkan kenyamanan. Menurut beberapa teori keperawatan,
kenyamanan adalah kebutuhan dasar klien yang merupakan tujuan pemberian asuhan
keperawatan. Pernyataan tersebut didukung oleh Kolcaba yang mengatakan bahwa
kenyamanan adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia.
B. RUMUSAN MASALAH
1. bagaimanakah pengertian nyeri ?
2. Bagaimanakah fisiologi nyeri (resepsi,reaksi,persepsi)?
C. TUJUAN
1. Mampu mengetahui dan menjelaskan pengertian nyeri.
2. Mampu mengetahui dan menjelaskan fisiologi nyeri
(resepsi,reaksi,persepsi).
D. METODE
Dalam penulisan
paper ini ditempuh metode-metode tertentu untuk mengumpulkan beberapa data dan
mengolah data tersebut. Untuk pengumpulan data dilakukan dengan metode
dokumentasi yaitu mengumpulkan berbagai sumber yang memuat materi yang terkait
dengan anatomi sistem saraf. Sumber tersebut melalui beberapa buku keperawatan
dan juga melalui internet. Data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan
menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode dengan jalan
menyusun data atau fakta-fakta yang telah diperoleh secra sistematis dan
menuangkannya dalam suatu simpulan yang disusun atas kalimat-kalimat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN NYERI
Menurut
International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori
subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan.Teori Specificity “suggest” menyatakan bahwa nyeri adalah
sensori spesifik yang muncul karena adanya injury dan informasi ini didapat melalui
sistem saraf perifer dan sentral melalui reseptor nyeri di saraf nyeri perifer
dan spesifik di spinal cord.
Secara
umum keperawatan mendefinisikan nyeri sebagai apapun yang menyakitkan tubuh
yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu
mengatakannya.Nyeri
merupakan suatu kondisi yang lebih dari pada sensasi tunggal yang disebabkan
oleh stimulus tertentu. Nyeri bersifat subjektif dan individual. Selain itu
nyeri juga bersifat tidak menyenangkan, sesuatu kekuatan yang mendominasi, dan
bersifat tidak berkesudahan. Stimulus nyeri dapat bersifat fisik dan/atau
mental, dan kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego
seseorang. Nyeri melelahkan dan menuntut energi seseorang sehingga dapat
mengganggu hubungan personal dan mempengaruhi makna kehidupan. Nyeri tidak
dapat diukur secara objektif, seperti menggunakan sinar-X atau pemeriksaan
darah. Walaupun tipe nyeri tertentu menimbulkan gejala yang dapat diprediksi,
sering kali perawat mengkaji nyeri dari kata-kata, prilaku ataupun respons yang
diberikan oleh klien.hanya klien yang tahu apakah terdapat nyeri dan seperti
apa nyeri tersebut. Untuk membantu seorang klien dalam upaya menghilangkan
nyeri maka perawat harus yakin dahulu bahwa nyeri itu memang ada.
Nyeri merupakan mekanisme fisiologis
yang bertujuan untuk melindungi diri. Apabila seseorang merasakan nyeri , maka
prilakunya akan berubah. Misalnya, seseorang yang kakinya terkilir pasti akan
menghindari aktivitas mengangkat barang yang memberikan beban penuh pada kakinya
untuk mencegah cedera lebih lanjut. Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa
telah terjadi kerusakan jaringan, yang harus menjadi pertimbangan utama
keperawatan saat mengkaji nyeri.Nyeri mengarah pada ketidakmampuan. Seiring
dengan peningkatan usia harapan hidup lebih banyak orang mengalami
penyakit kronik degan nyeri yang merupakan gejala umum.
B. FISIOLOGI NYERI
Banyak
teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri, meskipun tidak
ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri ditransmisikan
atau diserap. Untuk memudahkan memahami fisiologi nyeri, maka perlu mempelajari
3 (tiga) komponen fisiologis berikut ini:
v Resepsi
: proses perjalanan nyeri
v Persepsi
: kesadaran seseorang terhadap
nyeri
v Reaksi
: respon fisiologis & perilaku
setelah mempersepsikan nyeri
Istilah
Nyeri
v Nosiseptor
:
Serabut saraf yang mentransmisikan nyeri
v Non-nosiseptor
: Serabut saraf yang biasanya tidak mentransmisikan nyeri
v System
nosiseptif : System yang teribat dalam transmisi dan persepsi terhadap nyeri
v Ambang
nyeri : Stimulus yg paling kecil yg akan menimbulkan nyeri
v Toleransi
nyeri : intensitas maksimum/durasi nyeri yg individu ingin untuk dapat ditahan
1.
Transduksi
Pada nyeri nosiseptif, fase pertamanya adalah
transduksi, konversi stimulus yang intens apakah itu stimuli kimiawi seperti pH
rendah yang terjadi pada jaringan yang meradang , stimulus panas diatas 420C,
atau kekuatan mekanis. Disini didapati adanya protein transducer spesifik yang
diekspresikan dalam neuron nosiseptif ini dan mengkonversi stimulus noksious
menjadi aliran yang menembus membran, membuat
depolarisasi
membran dan mengaktifkan terminal perifer. Proses ini tidak melibatkan
prostanoid atau produksi prostaglandin oleh siklo-oksigenase, sehingga nyeri
ini, atau proses ini, tidak dipengaruhi oleh penghambat enzim COX-2. (7) .
Neuron transduksi diperankan oleh suatu nosiseptor berupa serabut A-δ dan
serabut C yang menerima langsung suatu stimulus noksius. Serabut A-δ merupakan
suatu serabut saraf dengan tebal 1- 3 mm dan diliputi oleh selaput mielin yang
tipis. Kecepatan transimisi impuls pada serabut A-δ adalah sekitar 20m/s.
Seperti serabut sensorik lainnya, serabut A-δ merupakan perpanjangan dari
pesudounipolar neuron dimana tubuh selnya berlokasi pada akar ganglion dorsal.
Sedangkan serabut C merupakan suatu serabut saraf dengan tebal 1 mm dan tidak
memiliki mielin. Karena serabut ini sangat tipis dan karena tidak memiliki
mielin yang mempercepat transmisi saraf, kecepatan konduksi rendah, dan suatu
rangsang berespon dengan kecepatan 1m/s.
Selain
dari peran serabut A-δ dan serabut C, disebutkan juga terdapat peran dari
neuroregulator yang merupakan suatu substansi yang memberikan efek pada
transmisi stimulus saraf, biasanya substansi ini ditemukan pada nosiseptor yaitu
akhir saraf dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan pada tempat reseptor
dalam saluran spinotalamik. Neuroregulator ada dua macam, yaitu
neurotransmitter dan neuromodulator. Neurotransmitter mengirimkan impuls
elektrik melewati celah synaptik antara 2 serabut saraf dan neuromodulator
berfungsi memodifikasi aktivitas saraf dan mengatur transmisi stimulus saraf
tanpa mentransfer secara langsung sinyal saraf melalui synaps.
1.
Transmisi
Disini
terjadi transfer informasi dari neuron nosiseptif primer ke neuron di kornu
dorsalis, selanjutnya ke neuron proyeksi yang akan meneruskan impuls ke otak.
Transmisi ini melibatkan pelepasan asam amino decarboxilic glutamate, juga
peptida seperti substantia P yang bekerja pada reseptor penting di neuron
post-sinaptic. Selanjutnya ini akan memungkinkan transfer yang cepat dari input
mengenai intensitas, durasi, lokasi, dari stimuli perifer yang berbeda lokasi.
Secara
umum, ada dua cara bagaimana sensasi nosiseptif dapat mencapai susunan saraf
pusat, yaitu melalui traktus neospinothalamic untuk ”nyeri cepat – spontan” dan
traktus paleospinothalamic untuk ”nyeri lambat”.
Pada
traktus neospinothalamik, nyeri secara cepat bertransmisi melalui serabut A-δ
dan kemudian berujung pada kornu dorsalis di medulla spinalis dan kemudian
bersinapsis dengan dendrit pada neospinothlamaik melalui bantuan suatu
neurotransmitter. Akson dari neuron ini menuju ke otak dan menyebrang ke sisi
lain melalui commisura alba anterior, naik keatas dengan columna anterolateral
yang kontralateral. Serabut ini kemudian berakhir pada kompleks ventrobasal
pada thalamus dan bersinapsis dengan dendrit pada korteks somatosensorik. Nyeri
cepat-spontan ini dirasakan dalam waktu 1/10 detik dari suatu stimulus nyeri
tajam, tusuk, dan gores.
Sebenarnya
terdapat beragam jalur khusus hantaran sinyal dari kerusakan jaringan dibawa ke
berbagai tujuan, dimana dapat memprovokasi proses kompleks. Transmisi
nosiseptif sentripetal memicu berbagai jalur : spinoreticular,
spinomesencephalic, spinolimbic, spinocervical, dan spinothalamic. Traktus
spinoreticular membawa jalur aferen dari somatosensorik dan viscerosensorik yang
berakhir pada tempat yang berbeda pada batang otak. Traktus spinomesencephalik
mengandung berbagai proyeksi yang berakhir pada tempat yang berbeda dalam
nukleus diencephali. Traktus spinolimbik termasuk dari bagian spinohipotalamik
yang mencapai kedua bagian lateral dan medial dari hypothalamus dan kemudian
traktus spinoamygdala yang memanjang ke nukleus sentralis dari amygdala.
Traktus spinoservikal, seperti spinothalamik membawa sinyal ke thalamus.
2.
Modulasi
Pada
fase modulasi terdapat suatu interaksi dengan system inhibisi dari transmisi
nosisepsi berupa suatu analgesic endogen. Konsep dari system ini yaitu
berdasarkan dari suatu sifat, fisiologik, dan morfologi dari sirkuit yang
termasuk koneksi antara periaqueductal gray matter dan nucleus raphe magnus dan
formasi retikuler sekitar dan menuju ke medulla spinalis. Analgesik endogen
meliputi :
v - Opiat
endogen
v - Serotonergik
v - Noradrenergik
(Norepinephric)
Sistem
analgesik endogen ini memiliki kemampuan menekan input nyeri di kornu posterior
dan proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang, kornu posterior
diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup adalah terbuka dalam
menyalurkan input nyeri. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh kepribadian,
motivasi, pendidikan, status emosional dan kultur seseorang. Secara skematik
proses modulasi dapat dilihat pada skema dibawah ini.
3.
Resepsi
Stimulus
(mekanik, termal, kimia) Pengeluaran histamin bradikinin, kalium Nosiseptor
Impuls syaraf Serabut syaraf perifer Kornu dorsalis medula spinalis Neurotransmiter
(substansi P) Pusat syaraf di otak Respon reflek protektif.
Adanya
stimulus yang mengenai tubuh (mekanik, termal, kimia) akan menyebabkan
pelepasan substansi kimia seperti histamin, bradikinin, kalium. Substansi
tersebut menyebabkan nosiseptor bereaksi, apabila nosiseptor mencapai ambang
nyeri, maka akan timbul impuls syaraf yang akan dibawa oleh serabut saraf
perifer. Serabut syaraf perifer yang akan membawa impuls syaraf ada dua jenis,
yaitu:
S serabutA – delta (Aδ)
Bermielin
dengan garis tengah 2 – 5 (m yang menghantar dengan kecepatan 12 – 30 m/detik
yang disebut juga nyeri cepat (test pain) dan dirasakan dalam waktu kurang dari
satu detik, serta memiliki lokalisasi yang dijelas dirasakan seperti ditusuk,
tajam berada dekat permukaan kulit.
v Serabut
C
Merupakan
serabut yang tidak bermielin dengan garis tengah 0,4 –1,2 m/detik disebut juga
nyeri lambat di rasakan selama 1 (satu) detik atau lebih, bersifat nyeri
tumpul, berdenyut atau terbakar.
Impuls
syaraf akan di bawa sepanjang serabut syaraf sampai ke kornu dorsalis medulla
spinalis. Impuls syaraf tersebut akan menyebabkan kornu dorsalis melepaskan neurotrasmiter
(substansi P). Substansi P ini menyebabkan transmisi sinapis dari saraf perifer
ke saraf traktus spinotalamus. Hal ini memungkinkan impuls syaraf
ditransmisikan lebih jauh ke dalam system saraf pusat. Setelah impuls syaraf
sampai di otak, otak mengolah impuls syaraf kemudian akan timbul respon reflek
protektif.
Contoh :
Apabila
tangan terkena setrika, maka akan merasakan sensasi terbakar, tangan juga
melakukan reflek dengan menarik tangan dari permukaan setrika. Proses ini akan
berjalan jika system saraf perifer dan medulla spinalis utuh atau berfungsi
normal. Ada beberapa factor yang menggangu proses resepsi nyeri, diantaranya
sebagai berikut:
v Trauma
v Obat-obatan
v Pertumbuhan
tumor
v Gangguan
metabolic (penyakit diabetes mellitus)
v Neuroregulator
Substansi
yang memberikan efek pada transmisi stimulus saraf, berperan penting pada
pengalaman nyeri. Substansi ini titemukan pada nocicepåtor yaitu pada akhir
saraf dalam kornu dorsalis medula spinalis dan pada tempat reseptor dalam
saluran spinotalamik. Neuroregulator ada dua macam yaitu neurotransmitter dan
neuromodulator. Neurotransmitter mengirimkan impuls elektrik melewati celah
synaptik antara dua serabut saraf.
Contoh :
Substansi
P, serotonin, prostaglandin. Neuromodulator memodifikasi aktivitas saraf dan
mengatur transmisi stimulus saraf tanpa mentrasfer secara langsung sinyal saraf
yang melalui synaps. Contoh: endorphin, bradikinin. Neuromodulator diyakini
aktifitasnya secara tidak langsung bisa meningkatkan atau menurunkan efek
sebagian neurotransmitter.
a.
Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan
bagaimana nosireseptor dapat
menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang
mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali
nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)Teori gate
control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri
dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf
pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah
pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya
menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori
dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron
delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi
impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal,
yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter
penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan
menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat
saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang
dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor,
apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka
akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan
jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi
di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen,
seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang
berasal dari tubuh. Neuromedulator
ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P.
tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk
melepaskan endorfin (Potter, 2005).
4. Persepsi
Fase
ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu
menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang komplek. Persepsi
menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu dapat
bereaksi. Proses persepsi secara ringkas adalah sebagai berikut :
v Stimulus
nyeri Medula spinalis Talamus Otak (area limbik)
v Reaksi
emosi Pusat otak Persepsi
v Stimulus
nyeri ditransmisikan ke medula spinalis, naik ke talamus, selanjutnya serabut
mentrasmisikan nyeri ke seluruh bagian otak, termasuk area limbik. Area ini
mengandung sel-sel yang yang bisa mengontrol emosi (khususnya ansietas). Area
limbik yang akan berperan dalam memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah
transmisi syaraf berakhir di pusat otak, maka individu akan mempersepsikan
nyeri.
5. Reaksi
Reaksi
terhadap nyeri merupakan respon fisioligis dan perilaku yang terjadi setelah
mempersepsikan nyeri. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri
yang superfisial menimbulkan reaksi ”flight atau fight”, yang merupakan sindrom
adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada saraf otonom menghasilkan
respon fisiologis, apabila nyeri berlangsung terus menerus, maka sistem
parasimpatis akan bereaksi. Secara ringkas proses reaksi adalah sebagai berikut
:
v Impuls
nyeri medula spinalis batang otak & talamus sistem saraf otonom
v Respon
fisiologis & perilaku
v Impuls
nyeri ditransmisikan ke medula spinalis menutju ke batang otak dan talamus.
Sistem saraf otonom menjadi terstimulasi, saraf simpatis dan parasimpatis
bereaksi, maka akan timbul respon fisiologis dan akan muncul perilaku.
A. RESPON TERHADAP NYERI
1.
Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman
klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara
lain :
v
Bahaya atau
merusak
v
Komplikasi
seperti infeksi
v
Penyakit yang
berulang
v
Penyakit baru
v
Penyakit yang
fatal
v Peningkatan ketidakmampuan
v
Kehilangan
mobilitas
v
Menjadi tua
v
Sembuh
v
Perlu untuk
penyembuhan
v
Hukuman untuk
berdosa
v
Tantangan
v
Penghargaan
terhadap penderitaan orang lain
v
Sesuatu yang
harus ditoleransi
v
Bebas dari
tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat
dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor
sosial budaya
2.
Respon fisiologis terhadap nyeri
a. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat,
dan superficial)
v Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan
respirasi rate
v Peningkatan heart rate
v Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
v Peningkatan nilai gula darah
v Diaphoresis
v Peningkatan kekuatan otot
v Dilatasi pupil
v Penurunan motilitas GI
b.
Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
v
Muka pucat
v
Otot mengeras
v
Penurunan HR
dan BP
v
Nafas cepat
dan irregular
v
Nausea dan
vomitus
v
Kelelahan dan
keletihan
3.
Respon tingkah laku terhadap nyeri
Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
v
Pernyataan
verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
v
Ekspresi wajah
(Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
v
Gerakan tubuh
(Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan
v
Kontak dengan
orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial,
Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan
mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama
beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan
membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat
tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam
aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
4.
Meinhart
& McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
a.
Fase
antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling
penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini
memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan
nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam
memberikan informasi pada klien.
b.
Fase sensasi
(terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri.
karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga
berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang
dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus
nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan
nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah
sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu
menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus
yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin
tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan
nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan,
mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang
ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku
yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti
apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang
tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu
tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan
nyeri secara efektif.
c.
Fase akibat
(terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau
hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena
nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca
nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan
yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk
meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
B. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON
NYERI
1
Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga
perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada
lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri
adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami
penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2
Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak
berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor
budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh
nyeri).
3
Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya
mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut
kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka
melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4
Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang
terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
5
Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada
nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi
dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery
merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6
Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan
nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
7
Pengalaman
masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri
dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah
mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung
pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
C.
KLASIFIKASI NYERI
1.
Berdasarkan
sumbernya
a.
Cutaneus/ superfisial, yaitu
nyeri yang mengenai kulit/ jaringan subkutan. Biasanya bersifat burning
(seperti terbakar)
ex: terkena ujung
pisau atau gunting
b.
Deep somatic/
nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari
ligament, pemb. Darah, tendon dan syaraf, nyeri menyebar & lbh
lama daripada cutaneus
ex: sprain sendi
c.
Visceral (pada organ
dalam), stimulasi reseptor nyeri dlm rongga abdomen, cranium dan thorak.
Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan jaringan
2.
Berdasarkan
penyebab:
a.
Fisik
Bisa terjadi karena stimulus
fisik (Ex: fraktur femur)
b.
Psycogenic
Terjadi karena sebab yang kurang jelas/susah diidentifikasi, bersumber dari
emosi/psikis dan biasanya tidak disadari. (Ex: orang yang marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya)
3.
Berdasarkan
lama/durasinya
a.
Nyeri akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena
cidera, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yan cepat, dengan intensitas
bervariasi dari berat sampai ringan . Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi
peringatan akan adanya cidera atau penyakit yang akan datang. Nyeri ini
terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan
pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga
kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut secara
serius mengancam proses penyembuhan klien, untuk itu harus menjadi prioritas
perawatan. Rehabilitasi bisa tertunda dan
hospitalisasi bisa manjang dengan adanya nyeri
akut yang tidak terkontrol.
b.
Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang
menetap sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas
bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini
disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut
atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai
kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut.
Klien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala
hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat).
Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan
pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik dan
psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien
menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu yang
mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yan gtidak aman, karena ia tidak
pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari.
1.
Berdasarkan
lokasi/letak
a.
Radiating pain
Nyeri menyebar dr sumber nyeri ke jaringan di dekatnya
(ex: cardiac pain)
b.
Referred pain
Nyeri
dirasakan pada bagian tubuh tertentu yg diperkirakan berasal dari jaringan
penyebab
c.
Intractable pain
Nyeri yg sangat susah dihilangkan (ex: nyeri kanker
maligna)
d.
Phantom pain
Sensasi
nyeri dirasakan pada bagian.Tubuh yg hilang (ex: bagian tubuh yang
diamputasi) atau bagian tubuh yang lumpuh karena injuri medulla spinalis
A.
INTENSITAS
NYERI
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang
seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri
sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang
sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang
berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,
pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang
nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1)
Skala intensitas nyeri
deskritif
2) Skala identitas nyeri numerik
3) Skala analog visual
4) Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan
baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah
dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah
tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta
untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun,
makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu
informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran
tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal
Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai
lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak
tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk
memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan
seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa
paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah
kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical
rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi
kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala
paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah
intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka
direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS)
tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas
nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala
ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS
dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien
dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih
satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala
tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien
melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi
nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya
mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi
klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih
memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan
(Potter, 2005).
B.
MANAJEMEN NYERI
Seperti
yang kita ketahui bahwa nyeri klinis umumnya terdiri atas nyeri inflamasi dan
nyeri neuropatik. Keduanya menunjukkan simtom yang sama tetapi berbeda dalam
strategi pengobatan yang disebabkan perbedaan dalam patofisiologi. Nyeri nosiseptif timbul akibat stimulasi reseptor
nyeri yang berasal dari organ visceral atau somatik. Stimulus nyeri berkaitan
dengan inflamasi jaringan, deformasi mekanik, injuri yang sedang berlangsung
atau destruksi. Oleh karena itu penting untuk mencari dan mengobati jaringan
yang rusak atau yang mengalami inflamasi sebagai penyebab nyeri. Sebagai
contoh, pasien datang dengan nyeri nosiseptif akibat polymyalgia rheumatic maka
diberikan kortikosteroid sistemik. Akan tetapi, sementara mencari penyebab
nyeri, tidak ada pendapat yang melarang pemberian analgesik untuk mengurangi
nyeri.
Manajemen nyeri terdiri dari:
1.
Farmakologis
(kolaborasi)-------penggunaan analgetik
Mengganggu penerimaan/stimuli nyeri dan interpretasinya dengan menekan
fungsi talamus & kortek serebri.
2.
Non farmakologi
(mandiri)
a.
Sentuhan terapeutik
Teori ini
mengatakan bahwa individu yang sehat mempunyai keseimbangan energi antara tubuh
dengan lingku;ngan luar. Orang sakit berarti ada ketidakseimbangan energi,
dengan memberikan sentuhan pada klien, diharapkan ada transfer energi dari
perawat ke klien.
b.
Akupresur
Pemberian penekanan pada pusat-pusat nyeri
c.
Guided imagery
Meminta
klien berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan, tindakan ini
memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi dari klien.
Apabila klien mengalami kegelisahan, tindakan harus dihentikan. Tindakan ini
dilakukan pada saat klien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri akut.
d.
Distraksi
Mengalihkan
perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan sampai sedang. Distraksi
visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi audio (mendengar musik),
distraksi sentuhan (massase, memegang mainan), distraksi intelektual (merangkai
puzzle, main catur)
e.
Anticipatory guidence
Memodifikasi
secara langsung cemas yang berhubungan dengan nyeri. Contoh tindakan: sebelum
klien menjalani prosedur pembedahan, perawat memberikan penjelasan/informasi
pada klien tentang pembedahan, dengan begitu klien sudah punya gambaran dan
akan lebih siap menghadapi nyeri.
f.
Hipnotis
Membantu
mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.
g.
Biofeedback
Terapi perilaku
yang dilakukan dengan memberikan individu informasi tentang respon nyeri
fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap respon tersebut.
Terapi ini efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan migren, dengan cara
memasang elektroda pada pelipis.
h.
Stimulasi kutaneus
Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah
satu pemikiran adalah cara ini bisa melepaskan endorfin, sehingga bisa memblok
stimulasi nyeri. Bisa dilakukan dengan massase, mandi air hangat, kompres
dengan kantong es dan stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS/
transcutaneus electrical nerve stimulation). TENS merupakan stimulasi pada
kulit dengan menggunakan arus listrik ringan yang dihantarkan melalui elektroda
luar.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Nyeri mempengaruhi proses kenyaman di
mana nyeri dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada seorang individu, karena
nyeri merupakan sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.Banyak
teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri, meskipun tidak
ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri ditransmisikan
atau diserap. Untuk memudahkan memahami fisiologi nyeri, maka perlu mempelajari
3 (tiga) komponen fisiologis berikut ini:
v Resepsi
: proses perjalanan nyeri
v Persepsi
: kesadaran seseorang terhadap
nyeri
v Reaksi
: respon fisiologis &
perilaku setelah mempersepsikan nyeri
DAFTAR PUSTAKA
Brunner &
Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal
Bedah. Vol : 1. Jakarta: EGC
Potter &
Perry . 2006. Fundamental Keperawatan.
Vol: 2. Jakarta : EGC.Hlm 1502-1533
Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri ,Pemenuhan
Aktivis Istirahat. Jakarta : EGC hal : 87.
Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta :
Arcan. Hlm : 76-80
Ramali. A. (2000).Kamus Kedokteran:
Arti dan keterangan Istilah .
Jakarta : Djambatan.
Tamsuri, A. (2007).Konsep Dan
Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63
Tidak ada komentar:
Posting Komentar